Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Persepsi Sebagai Inti Komunikasi Interpersonal


A.   Persepsi Sebagai Inti Komunikasi Interpersonal
Persepsi dikatakan inti komunikasi karena persepsi sangat mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukan baik komunikasi interpersonal maupun komunikasi intrapersonal. Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Misal berfikir, menulis, merenung, menggambar dan sebagainya. Sedangkan komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain atau kelompok, misal mengobrol lewat telepon, korespondensi dll.
Persepsi atau cara pandang kita terhadap sesuatu akan menentukan jenis dan kualitas komunikasi yang kita lakukan. Misal kita berhadapan dengan seseorang yang kita persepsikan baik, maka komunikasi yang kita lakukan dengannya pun akan baik pula, begitu juga sebaliknya.
Definisi cantik menurut orang yang satu dengan yang lain pasti mempunyai jawaban yang berbeda-beda, mungkin ada yang menjawab cantik itu gendut, ramping atau bahkan kurus kering. Hal itu dikarenakan persepsi setiap orang atau kelompok dalam memandang suatu hal berbeda-beda yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman, psikologi dan kondisi faktual yang saat itu kita tangkap. Kecantikan menurut orang dayak adalah seseorang yang memakai banyak anting sampai daun telinganya menjuntai ke bawah. Menurut penduduk fiji, kecantikan dilihat dari kemampuan reproduksi yakni tubuh yang subur dan keturunan yang banyak. Berbeda dengan masyarakat modern kota, kecantikan diartikan sebagai seorang wanita yang bertubuh ramping, putih, dan berambut lurus. Sesuatu diintepretasikan berbeda-beda oleh setiap orang dan kelompok tergantung latar belakangnya masing-masing.

B.   Kekeliruan dan Kegagalan Persepsi
Persepsi kita sering tidak cermat. Salah satu penyebabnya adalah asumsi atau pengharapan kita. Beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi adalah sebagai berikut:
  1. Kesalahan Atribusi
Atribusi adalah proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab perilaku orang lain. Dalam usaha mengetahui orang lain, kita menggunakan beberapa sumber informasi. Misalnya, kita mengamati penampilan fisik seseorang, karena faktor seperti usia, gaya pakaian, dan daya tarik dapat memberikan isyarat mengenai sifat-sifat utama mereka.
Kesalahan atribusi bisa terjadi ketika kita salah menaksir makna pesan atau maksud perilaku si pembicara.atribusi kita juga keliru bila kita menyangka bahwa perilaku seseorang disebabkan oleh faktor internal, padahal justru faktor eksternal-lah yang menyebabkannya, atau sebaliknya kita menduga faktor eksternal yang menggerakkan seseorang, padahal faktor internal-lah yang membangkitkan perilakunya.
Salah satu sumber kesalahan atribusi lainnya adalah pesan yang dipersepsi tidak utuh atau tidak lengkap, sehingga kita berusaha menafsirkan pesan tersebut dengan menafsirkan sendiri kekurangannya, atau mengisi kesenjangan dan mempersepsi rangsangan atau pola yang tidak lengkap itu sebagai lengkap.




Contoh simpel kesalahan atribusi:

Apa yang kita lihat dari gambar ini? Gambar apa ini? Pasti jawaban di pikiran kita sangat beragam.

Nah sekarang gambar kedua ini adalah versi lengkap dari gambar pertama. Gambar ini merupakan gambar seekor anjing. Setelah memiliki informasi dan pesan yang diterima telah utuh, maka kita dapat mengatribusi gambar tersebut dengan jawaban yang tepat.

  1. Efek Halo
Kesalahan persepsi yang disebut efek halo (halo effects) merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan yang menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan sifat-sifatnya yang spesifik. Efek halo ini memang lazim dan berpengaruh kuat sekali pada diri kita dalam menilai orang-orang yang bersangkutan. Bila kita sangat terkesan oleh seseorang, karena kepemimpinannya atau keahliannya dalam suatu bidang, kita cenderung memperluas kesan awal kita. Bila ia baik dalam satu hal, maka seolah-olah ia pun baik dalam hal lainnya.
Kesan menyeluruh itu sering kita peroleh dari kesan pertama, yang biasanya berpengaruh kuat dan sulit digoyahkan. Para pakar menyebut hal itu sebagai “hukum keprimaan” (law of primacy). Celakanya, kesan awal kita yang positif atas penampilan fisik seseorang sering mempengaruhi persepsi kita akan prospek hidupnya. Misalnya, orang yang berpenampilan lebih menarik dianggap berpeluang lebih besar dalam hidupnya (karir, perkawinan, dan sebagainya).

  1. Stereotype
Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan (stereotyping), yakni menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarakan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipan adalah proses menempatkan orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategori-kategori yang dianggap sesuai, alih-alih berdasarkan karakteristik individual mereka.
Contoh stereotip ini banyak sekali, misalnya:
a. Laki-laki berpikir logis
b. Wanita bersikap emosional
c. Orang berkulit hitam pencuri
d. Orang Meksiko pemalas
e. Orang Yahudi cerdas
f. Orang Prancis penggemar wanita, anggur, dan makanan enak
g. Orang Cina pandai memasak
h. Orang Batak kasar
i. Orang Padang pelit
j. Orang Jawa halus pembawaan
k. Lelaki Sunda suka kawin cerai dan pelit memberi uang belanja
l. Wanita Jawa tidak baik menikah dengan lelaki Sunda (karena suku Jawa dianggap lebih tua daripada suku Sunda)
m. Orang Tasikmalaya tukang kredit
n. Orang berkaca mata minus jenius
o. Orang berjenggot fundamentalis (padahal kambing juga berjenggot), dll.

Pada umumnya, stereotip bersifat negatif. Stereotip ini tidaklah berbahaya sejauh kita simpan dalam kepala kita. Akan tetapi bahayanya sangat nyata bila stereotip ini diaktifkan dalam hubungan manusia. Apa yang anda persepsi sangat dipengaruhi oleh apa yang anda harapkan. Ketika anda mengharapkan orang lain berperilaku tertentu, anda mungkin mengkomunikasikan pengharapan anda kepada mereka dengan cara-cara yang sangat halus, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan berperilaku sesuai dengan yang anda harapkan.

  1. Prasangka
Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagin. Dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi prasangka ini konsekuensi dari stereotip, dan lebih teramati daripada stereotip. Menurut Ian Robertson, pikiran berprasangka selalu menggunakan citra mental yang kaku yang meringkas apapun yang dipercayai sebagai khas suatu kelompok. Citra demikian disebut stereotip.
Meskipun kita cenderung menganggap prasangka berdasarkan suatu dekotomi, yakni berprasangka atau tidak berprasangka, lebih bermanfaat untuk menganggap prasangka ini sebagai bervariasi dalam suatu rentang dari tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Sebagaimana stereotip, prasangka ini alamiah dan tidak terhindarkan. Pengguanaan prasangka memungkinkan kita mereespon lingkungan secara umum, sehingga terlalu menyederhanakan masalah.

  1. Gegar Budaya
Menurut Kalvero Oberg, gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan karena hilangnya tanda-tanda yang sudah dikenal dan simbol-simbol hubungan sosial. Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmamapuan menyesuaikan diri (personality mal-adjustment) yang merupakan suatu reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru. Sedangkan menurut P. Harris dan R. Moran, gegar budaya adalah suatu trauma umum yang dialami seseorang dalam suatu budaya yang baru dan berbeda karena harus belajar dan mengatasi begitu banyak nilai budaya dan pengharapan baru, sementara nilai budaya dan pengharapan budaya lama tidak lagi sesuai.
Kita tidak langsung mengalami gegar budaya ketika kita memasuki lingkungan budaya yang baru. Fenomena itu dapat digambarkan dalam beberapa tahap. Peter S. Adler mengemukakan lima tahap dalam pengalaman transisional ini, yaitu:
a. Tahap kontak. Ditandai dengan kesenangan, keheranan, dan kekagetan, karena kita melihat hal-hal yang eksotik, unik, dan luar biasa.
b. Tahap disintegrasi. Terjadi ketika perilaku, nilai, dan sikap yang berbeda mengganggu realitas perseptual kita.
c. Tahap reintegrasi. Ditandai dengan penolakan atas budaya, kita menolak kemiripan dan perbedaan budaya melalui penstereotipan, generalisasi, evaluasi, perilaku, dan sikap yang sserba menilai.
d. Tahap otonomi. Ditandai dengan kepekaan budaya dan keluwesan pribadi yang meningkat, pemahaman atas budaya baru, dan kemampuan menyesuaikan diri dengan budaya baru kita.
e. Tahap independensi. Ditandai dengan kita mulai menghargai kemiripan dan perbedaan budaya, bahkan menikmatinya.
Gegar budaya ini dalam berbagai bentuknya adalah fenomena yang alamiah saja. Intensitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya terbagi dua, yaitu: faktor internal (cirri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan), dan faktor eksternal (kerumitan budaya atau lingkungan budaya baru yang dimasuki). Tidak ada kepastian kapan gegar budaya ini akan muncul dihitung sejak kita memasuki suatu budaya lain.
Contoh kasus dalam gegar budaya:
Seorang gadis remaja yang sedang dalam masa pubernya menerima berbagai tampilan di media mengenai pakaian-pakaian minim yang berasal dari budaya barat. Gadis ini merasa terkejut dan aneh dengan gaya berpakaian tersebut, karena merasa tidak cocok dengan apa yang dilakukannya selama ini (tahap kontak). Tentu saja gadis ini yang sejak dulu berpersepsi kalo gadis yang memakai pakaian minim adalah gadis yang nakal agak terganggu karena sudah banyak orang disekitarnya memakai pakaian minim (tahap disintegrasi).
Karena dari awal gadis ini sudah mempunyai stereotype terhadap gadis berpakaian minim, maka dia pun mulai menjauhi atau menolak untuk berteman dengan gadis yang berpakaian minim (tahap reintegrasi). Semakin lama budaya pakaian ini semakin berkembang dan secara tidak langsung dan mau tidak mau sang gadis harus bisa menyesuaikan dengan keadaan sekitarnya yang sudah banyak berpakaian mini (tahap otonomi). Akhirnya gadis tersebut setelah dapat menyesuaikan diri, maka persepsi dia terhadap gadis berpakaian minim sudah mulai berubah. Dia tidak berpersepsi lagi bahwa semua gadis berpakaian minim itu nakal dan itu adalah salah satu budaya modern yang harus dihadapinya dan diterimanya (tahap indepedensi)