MORAL DAN ETIKA DALAM BERPOLITIK YANG CENDERUNG TERABAIKAN OLEH PENYELENGGARA NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Problematika
yang sering muncul di Negara ini sangat sarat dengan penyimpangan norma-norma
dan nilai-nilai beretika. Penindasan,korupsi,dan kriminalitas lainnya muncul
diberbagai hirarkisme warga, mulai dari masyarakat biasa hingga para penguasa
dan elit politik Indonesia.
Dalam Tap MPR No. VI/MPR/2001 menyatakan pengertian dari etika kehidupan
berbangsa adalah rumusan yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat
universal dan nilai-nilai budaya bangsa yang terjamin dalam pancasila sebagai
acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hilangnya etika perpolitikan adalah awal dari
kesewenang-wenangan para penguasa untuk merampas apa yang menjadi hak rakyat.
Hal yang sangat ditonjolkan adalah politik aturan yang berlaku. Dalam etika,
aturan-aturan yang sudah menjadi hukum itu perlu ditinjau ulang. Aturan
bukanlah hukum yang sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Jika seandainya terbukti bahwa
aturan-aturan tersebut menuai kritikan yang keras dari masyarakat berarti aturan yang berlaku itu perlu diubah
karena melanggar hak-hak orang lain. Maka pemerintah dan badan kehormatan yang
ada di lembaga dewan perwakilan rakyat, tidak dapat menggunakan hukum yang
berlaku sebagai senjata ampuh untuk membenarkan diri. Perlu kita ketahui bahwa
hukum yang berlaku sekarang ini adalah hukum yang dibuat oleh pemerintah dan
DPR yang sarat dengan kepentingan. Etika merupakan hukum terakhir yang mampu
memberi keadilan bagi setiap warga negara. Etika mempertanyakan semua hukum
yang sudah berjalan selama ini demi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Maka Aristoteles tidak pernah melepaskan politik dari etika. Baginya politik
harus berjalan di atas etika.
B. Rumusan Masalah
- Pengertian Etika
- Pengertian Etika Politik
- Perumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika
Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika
adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.Etika termasuk
kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi etika khusus yaitu etika yang
membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum
yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia.Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan
prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia,
dan juga berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku
manusia.
B. Pengertian Etika
politik
Sebagai salah satu cabang etika,
khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang
langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan
tanggung jawab dan kewajiban manusia. Ada bebagai bidang etika khusus, seperti
etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi, dan etika
pendidikan.dalam hal ini termasuk setika politik yang berkenaan dengan dimensi
politis kehidupan manusia.
Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk
mengukur betulsalahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan demikian, etika
politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan
bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum yang berlaku dan lain
sebagainya.
Secara
substantive pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek
sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat
dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian
‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban
moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang
dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya
dengan masyarakat, bangsa maupun Negara, etika politik tetap meletakkan
dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar
etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakekat manusia sebagai
makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa
masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang kearah keadaan yang tidak baik
dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim
yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia tanpa memperhitungkan
dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara
yang demikian ini maka seorang yang baik secara moral kemanusiaan akan
dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak
dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara. Oleh
karena itu aktualisasi etika harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat
dan martabat manusia sebagai manusia (Suseno, 1987:15). Sejak abad ke-17 filsafat
mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti :
1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negra (John Locke)
1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negra (John Locke)
2. Kebebasan
berfikir dan beragama (Locke)
3. Pembagian
kekuasaan (Locke, Montesque)
4. Kedaulatan
rakyat (Roesseau)
5. Negara hukum
demokratis/repulikan (Kant)
6. Hak-hak asasi
manusia (Locke, dsb)
7. Keadilan social
C.
Perumusan Masalah
Fenomena dunia politik
Indonesia sepuluh tahun terakhir ini mengalami banyak perubahan. Perubahan
perpolitikan di Indonesia tidak hanya mengubah watak dan perilaku para
politisi, partai politik, elite politik, dan penguasa, tetapi juga mengubah
persepsi dan paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang memaknai hakikat
politik itu sendiri. Munculnya konflik antar lembaga negara, kasus korupsi hingga
terseretnya pejabat negara karena narkoba dan asusila yang duduk di lembaga
legislatif, yudikatif, dan eksekutif menurut penilaian Kepala Pusat Studi
Pancasila (PSP) UGM, Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si., sebagai cermin hilangnya
tatanan etika dan moral yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila.Banyak politisi
dan pejabat negara yang sudah tidak ada rasa malu meskipun terindikasi terlibat
kasus seolah tenang-tenang saja sambil menunggu proses hukum positif, mereka
tidak memberikan tanggung jawab secara moral dan menunjukkan rendahnya etika
politik.Sudjito menilai demokrasi yang dibangun dalam dunia perpolitikan saat
ini adalah demokrasi yang bebas nilai yang menyebabkan perilaku politisi dan
pejabat Negara jauh dari etika politik. Makna dan esensi demokrasi direduksi
sebagai merebut kekuasaan. Kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat tetapi di
tangan penguasa dan lembaga politik. Lembaga politik seperti partai politik
bukan lagi merepresentasikan kepentingan rakyat tetapi merepresentasikan
kepentingan partai dan elite partai. Yang terjadi, elite partai melanggengkan
kekuasaan dengan menggunakan segala cara. Kemudian, etika dan moral cenderung
diabaikan sehingga melahirkan berbagai sindiran politik seperti politik dagang
sapi,politik sapi perah, dan politik jalanan,politik dinasti. Sehingga politik
dimaknai sebagai adu kekuatan dan kepentingan.
Menurut Sudjito, berdemokrasi dan berpolitik
Pancasila pada dasarnya tidak hanya berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga
lebih pada kesadaran dan kepantasan moral yang mengedepankan etika nilai-nilai
Pancasila. Ironisnya, praktik semacam ini seharusnya dilaksankan di Indonesia
justru dilaksanakan di Negara lain. Di jepang, misalnya, seorang pejabat tinggi
akan mundur karena pertimbangan moral ketika gagal melaksanakan tugas, mereka seolah
lebih menghayati sila kemanusiaan
Oleh karena itu, etika
politik harus dijadikan sarana merefleksikan kualitas moral yang harus dimiliki
oleh para pelaku politik dan para penyelenggara negara. Indikasinya dapat
terlihat sampai sejauh mana para pelaku politik dapat memaknai dan melaksanakan
etika politik dan demokrasi dalam kerangka Pancasila.Dr. Slamet Sutrisno,
mengatakan demokrasi pancasila adalah konsep demokrasi keindonesiaan yang
secara internal menegaskan ide kerakyatan dan ide musyawarah perwakilan dan
diresapi oleh nilai-nilai eksternal religiusitas, humanitas, kebangsaaan dan
keadilan sosial. Sedangkan praktek politik demokrasi di era reformasi terkesan
lebih menganut filsafat demokrasi barat liberal yakni supremasi mayoritas. Kendati
demokrasi itu muncul akibat protes terhadap ekstrim musyawarah mufakat
artifisial rezim orde baru.
Dengan
ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik memiliki dimensi etis, bukan sesuatu yang
netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila mendorong warganegara untuk berperilaku etis dalam politik. Apabila nilai-nilai Pancasila itu dapat
ditransformasikan ke dalam ethos masyarakat, maka akan menjadi
pandangan hidup atau Weltanschauung.
Pandangan hidup dapat dilihat sebagai suatu cultural software, suatu
perangkat lunak budaya. Pandangan hidup adalah suatu cara memahami dunia
dan kehidupan sosial, suatu kosmologi masyarakat. Sebagai
perangkat lunak budaya pandangan hidup
berperan dalam mengkonstruksikan dunia
sosial dan politik. Tetapi pandangan hidup itu selalu berada dalam kontestasi
dan negosiasi dengan pandangan hidup lainnya. Cultural software dikopi dalam setiap individu melalui sosialisasi,
interaksi dan komunikasi. Fungsi cultural
software mirip dengan apa yang disebut Gadamer “tradisi”: tradisi
melengkapi kita dengan pra-pemahaman yang memungkinkan kita membuat penilaian
mengenai dunia sosial Sejauh masyarakat
memiliki kopi yang kurang lebih sama, maka pemahaman budaya mereka adalah
pemahaman budaya bersama.
BAB III
PENUTUP
A.
Penutup
Krisis kehidupan berbangsa dan
bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan
etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya
saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan
menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini.
Kemampuan membangun harmoni,
melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat
rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal
untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan
kompromi dan semangat rekonsiliasi.
Politik bukanlah persoalan
mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana
diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics di Tanah Air kita.
Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya
menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani
dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung
sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas
nilai-nilai.
Karena itulah, politik lebih dari
sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara
mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan
yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara
yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Apabila kesadaran etika berpolitik
sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita hadapi kedepan adalah terjadinya
feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan
bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin
politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan
keterbelakangan.
Tantangan ini harus kita hadapi
dengan penuh kesadaran untuk selalu berjuang menentang feodalisme dan
perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Usaha ini
sangat ditentukan juga melalui perjuangan partai politik.
Partai politik hendaknya berbentuk
partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota
partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul
tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik
diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap
tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin partai.
Partai politik sebagai pilar demokrasi haruslah selalu berinteraksi dengan
masyarakat sepanjang tahun. Kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan agenda
wajib begitu pula sikap cepat tanggap dalam menghadapi musibah dan bencana.
Para elit politik partai pun sudah
seharusnya sering terjun menemui konstituen, mendengar aspirasi mereka, dan
memperjuangkannya. Partai tidak boleh membuat jarak dengan rakyat. Di sinilah
sesungguhnya hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai
politik dan elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai
tidak akan terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar
menjadi penyambung lidah rakyat. Sehingga dapat mencegah kehawatiran bahwa
partai hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kegiatan pencerdasan
politik masyarakat harus terus dipupuk oleh partai politik melalui respon
terhadap realitas sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan
dengan cara yang santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus
mengembangan sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari
konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu
golongan saja
B.
Saran
Sejumlah
politikus di negara ini terjerat kasus hukum dan sebagian sudah menjalani
hukumannya. Para pejabat publik dan politikus yang terindikasi kasus korupsi
lebih baik mundur. Jangan terus membodohi rakyat dengan mengatasnamakan
menunggu proses hukum. Dalam kehidupan selain hukum, juga ada etika yang harus
dijaga. Para Penyelenggara Negara Indonesia jangan selalu berlindung di balik
proses hukum tanpa mempedulikan etika.
Contoh
bagaimana politikus senior Jerman yang mundur karena patuh pada etika. Mantan
Kanselir Jerman Barat yang berkuasa puluhan tahun, Helmut Kohl, mundur dari
jabatannya karena menerima uang sebagai ketua umum partai yang berkuasa CDU/CSU
sebesar 8.000 DM saat itu atau hanya sebesar Rp 160 juta. Dana itu bukan untuk
kepentingan pribadinya, tapi masuk ke kas partainya. "Dia pun mundur
dengan legowo,” Mundurnya politisi muda Jerman yang cemerlang dari jabatan
Presiden Jerman, Cristian Wulf, karena mendapatkan kredit rumah dengan bunga
kecil tapi dia sadar akan resiko sebagai politisi dan pejabat publik
yang tidak boleh melakukan hal-hal yang oleh orang umum sebenarnya biasa saja
Para Penyelenggara Negara harus
mengerti bagaimana politik itu sendiri yang seharusnya dilaksanakan sesuai
dengan etika terlebih amanah pancasila, tudak bertentangan dan bukan bagaimana
pancasila dipolitikkan oleh para penguasa negara khususnya negara Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
·
M.
Sastrapratedja, Pancasila Sebagai
Dasar Negara, Asas Etika Politik dan Acuan Kritik Ideologi, Makalah.
·
Julkiplimansyah, Kondisi Rakyat dan
Bangsa Indobesia Kian Terpuruk, Kompas, 27 Juli 2008.